Saturday, November 18, 2023

SEMANGAT MENEMBUS BATAS

Pagi itu di bawah sisa hujan semalam, kususuri jalan yang panjang bersama mereka. Jalan yang seakan tiada ujung, terjal dan sangat berbahaya untuk dilalui. Lubang - lubang jalan beraspal yang tergerus banjir akses utama perjalanan ini. Liak liuk iring - iringan kuda besi seperti atraksi ketangkasan berkendara di arena balap. Bahkan rintiknya hujan tidak membuat kami takut menghadapinya. Basah tak terasa lagi, hanya tawa dan candaan mengiringi di perjalanan.

Jalan batas kota kecil terlewati sudah.  Sang navigator mulai mengarahkan sepedanya ke jalan lain. Jalan yang ternyata lebih serasa crossroad dari sebelumnya. Jalan licin berbatuan, sebesar kepalan tangan orang dewasa bahkan lebih. Kadang terlihat jalan cor yang sudah berlobang sana sini. Naik tinggi, menikung tajam dan turun terjal membuat kami semua terdiam. Hanya sesekali beberapa dari kami memberi peringatan jalan hati - hati. Harus satu persatu sepeda melewatinya. Satu dengan yang lainpun harus saling membantu. Karena tidak semua dari kami dari daerah ini. 

Rombongan mulai memasuki tanjakan yang tajam, sempit dan licin. Suara mesin saling beradu kemampuan menaikinya. Nyali pengendara teruji di sini. Adakah takut atau ragu - ragu? Ternyata hanya aku yang takut. Kupandangi mereka tak ada yang terlihat gentar, meski para siswi yang mengendarai. 

Beberapa saat kemudian beberapa anggota rombongan sudah mulai di jalan atas. Tinggal kami pengendara tiga motor masih berusaha naik tanjakan tertinggi. Tiba - tiba motor di depanku tergelincir ban jalan dan terguling. Jantungku serasa lepas, motor di depanku terus merosot ke bawah hampir mendekati motor yang kukendarai. Untung Nanda sangat cekatan menurunkan motornya di luar ban jalan yang berbatasan dengan jurang. Sementara kulihat Ibra menghentikan motornya begitu saja sambil berlari membantu Aden. Ibra terus menarik Aden hingga berhenti merosot kebawah. Mereka terlihat lemas dengan nafas yang tersengal. Ibra memandangi Aden yang pucat pasi tanpa bisa berkata apa - apa. Kemudian aku, Nanda dan Dito menghampiri mereka berdua. Kami berlima duduk di pinggir jalan tanpa suara sedikitpun.

"Lho yok opo sih Den kok iso koyo ngunu?" Tiba - tiba Nanda memecah keheningan.

Dengan nada gemetar dan masih bingung Aden menjawab,"Masalah e sepedaku ndak bisa naik trus aku ndak kuat menahannya".

"Untung Ibra cepet melompat, kalau tidak kalian bertiga mendarat di bawahlah", Si Dito mencairkan ketegangan Aden yang masih kaku ketakutan. 

"Ya sudahlah, yang penting kita semua baik - baik saja", sahutku biar Aden tidak merasa bersalah.

"Iya Bu", mereka menjawab bersamaan. "Sebaiknya kita lanjutkan lagi, pasti teman - teman sudah menunggu di atas", Nanda mengajak kita segera meninggalkan tempat tersebut.

"Oke Siap, ati - ati ya Den", serempak kami menyemangati Aden

Aden hanya tersenyum sambil ngomong lirih sendiri. Dasar Aden yang biasanya banyak bicara tiba - tiba menjadi pendiam.

"Sebaiknya saya dan Ibra paling belakang saja Nda,  kamu di belakang Aden saja". Dita memberi saran pada kami.

"Ok lah To, ayo". Nanda menjawab dengan semangat tingginya

Kitapun mulai beranjak menuju atas, hujan makin deras, kita bermotor dengan sangat pelan. Takut kalau bannya makin tergelincir karena licin, 

Dinginnya air hujan diiringi angin yang agak kencang serasa menembus basahnya pakaian. Kulihat mereka masih semangat. Sesekali mereka menggoda Aden, dan Adenpun mulai menimpali godaan teman - temannya. Nampak da sudah tidak tertekan lagi. 

Sesampai di jalan atas, kita bertemu dengan yang lainnya. Mereka juga basah kuyub, namun tak terlihat sedikitpun lelah dan dingin. Mereka juga bercanda bersama. Senang rasanya bersama seperti ini, karena aku tak merasa lelah sedikitpun. 

Selang beberapa waktu setelah berkumpul semua kita melanjutkan perjalanan. Masih ada dua kali tanjakan dan satu turunan. Tapi mereka memastikan tanjakan dan turunan itu tak setajam jalan tadi. Okelah, hatiku lega jadinya.

Setelah dua kali tanjakan, kita melewati jalan yang menurun. Jalan ini sangatlah sulit, karena batu - batunya besar, berlumpur dan licin. Iring - iringan motor kami yang lumayan panjang layaknya ular yang berkelok di sepanjang jalan. Apalagi hujan makin deras dan jalan hampir tertutup air semua. Sehingga tak tahu jalan mana yang berlobang atau yang bisa dilewati. 

Setiap jalan sulit yang dilewati akan membuat mereka saling berkomentar dan saling ejek. Seakan mereka menunjukkan keahliannya menunggang kuda besi di jalan yang benar - benar penuh tantangan. Bagiku jalan itu sangatlah sulit dan menakutkan, tapi bagi mereka itu masih mudah, layaknya uji nyali yang tak perlu ditakuti. Maklum mereka masih remaja, apalagi mereka banyak yang berasal dari daerah sekitar sini. Mereka benar - benar sudah lihai melewati medan jalan sehari - hari.

Sekitar tiga puluh menit sudah kita melalui jalan - jalan tersebut. Punggung tua ini mulai terasa pegal dan badan terasa dingin. Namun aku tetap merasa bahagia karena bersama mereka. Di bawah derasnya hujan, kami semua bernyanyi - nyanyi dan tertawa juga. Sesekali dari mereka ada yang menebarkan joke yang tak sengaja. 

Tiba - tiba motor paling depan berhenti tepat di jalan yang ladang sebelahnya baru panen. Sehingga terlihat seperti tanah lapang yang luas karena tergenang air hujan. Kami ikut berhenti, sambil penuh tanya. Mereka menepikan motor - motornya di tepi jalan dan berjalan berkumpul. Salah satu dari kami, Mail, memberikan ide cemerlang. Kami semua diajak turun ke lahan kosong, berdiri berpunggungan, bergandengan siku lengan dan  melingkar. Layaknya lingkaran kecil yang kami buat di lahan kosong di bawah hujan deras. Di sini masing - masing dari kami saling merefleksikan diri semua kesalahan - kesalahan yang pernah kami buat selama bersama teman - teman sekelas seraya memejamkan mata. Kami saling berdoa yang didengarkan sesama, disebutkanlah satu - satu nama yang pernah kami sakiti. Tak terasa tangis tak dapat dibendung, semua menangis sambil menundukkan kepala ke bawah dan kadang ke atas. Seakan menjadi saat yang mengajak kita memuliakan nama Allah atas semua yang telah mereka berikan. 

Sesaat tak ada suara sama sekali, hanya sesekali senggukan dari kami. "Baiklah teman - teman, saling berjabatlah tangan bila orang yang kita sakiti ada di sini", Si Mail memecahkan kesunyian. Kami berkumpul saling berpandangan dan berjabat tangan. Mata - mata merah sembab masih terlihat, meski terpancar senyum - senyum yang lega karena saling memaafkan. Demikian pula aku, yang meminta maaf pada semua, sengaja atau tidak, aku pastilah yang banyak salah. Jabatan tangan ini membawa damai di hati kami.

Kitapun melanjutkan perjalan yang kurang beberapa saat lagi. Hujanpun mulai berkurang, namun semakin dingin karena waktu siang beranjak sore. Kulihat mereka sudah mulai berbincang - bincang lagi. Suasana hangat makin terasa dalam perjalanan ini. "Satu kali tanjakan rendah itu belok kiri, kita sampai tujuan", Dito memberi informasi.

"Beres, oke". Bersamaan merespon Dito

Ternyata benar adanya, sampailah kita di tujuan. Kami segera memasuki halaman, dan memarkir motor. Sesekali masih ada candaan mereka. 

Keluarga Amar menyambut kami dengan senang hati, meski saat itu mereka berkabung atas meninggalnya salah satu anggota keluarga. Kamipun dipersilakan masuk, meski kami basah kuyub. Nampak beberapa orang sibuk untuk menjamu kami, makan siang dan teh panas yang enak di saat dingin hujan seperti ini. Anak - anak saling bercerita pengalaman perjalanan tadi. Tawa dan candaan mereka menghangatkan suasana. keluarga yang berdukapun ikut berbagi pengalaman melewati jalan - jalan tersebut.

Terima kasih Tuhan, saat ini Engkau tunjukkan betapa Maha Hebatnya Engkau. Apapun yang Engkau berikan, kami masih selalu senang menjalani. Seperti saat ini, semangat kami menembus batas untuk kebersamaan. Terima kasih anak - anak untuk pelajaran yang kalian berikan padaku.


matahari 2023





Saturday, September 2, 2023

FIZA' FIRST STORY

 

KISAH PERSAHABATAN

TIGA TELUR

Ada sebuah kisah yang bercerita tentang persahabatan tiga telur. Ketiga telur itu bernama, Kiki, Lala dan Lulu.

id.pngtree.com/freepng/three-cartoon-colored-eggs

Pada suatu hari, Lulu diambil oleh raksasa. Kiki dan Lala berteriak, memohon agar temannya tidak diambil, “tidak……jangan ambil Lulu”.

Lulupun berteriak – teriak, “Jangan ambil aku, aku tak mau”. Namun seakan – akan raksasa itu tidak mendengarkan jeritan Lulu dan kawan – kawan.

Kiki dan Lala sangat sedih ditinggal sahabatnya pergi. Mereka tidak tahu apa yang dilakukan raksasa itu kepada Lulu. Hanya tatapan kosong menatap pintu di depannya.

Sesaat kemudian, tiba – tiba terdengar suara pintu kulkas terbuka. Sedikit demi sedikit pintu kulkas tebuka lebar. Kiki dan Lala menatap pintu yang terbuka tersebut. Merekapun mendekati pintu kulkas, dan melihat keluar. Beberapa langkah di depan nampak sebuah meja makan yang di atasnya terdapat sesisir roti dan telur.

Kiki dan Lala saling memandang penuh tanda tanya. Mereka mulai berfikir terlalu jauh. Tiba – tiba Lala berkata, “Wah, pasti Lulu sangat sedih”.

“Iya, karena Lulu tak bisa bertemu kita lagi”, sahut Kiki dengan sedihnya.

Mereka lantas berpelukan sambil menangis meratapi kepergian Lulu. Lulu sudah berada di atas meja makan bersama sesisir roti tawar. Itulah yang mereka ratapi sampai waktu berlalu tak dirasakannya.

Keesokan paginya, saat Lala masih terlelap tidur, Kiki sudah terbangun duluan. Kiki membuka mata sambil terheran – heran. Terdengar sebuah telur yang mirip Lulu menyapanya, “Pagi Kiki”, senyum lebarnya terlihat bahagia.

Kikipun bertanya dengan tidak percaya, “Ka…ka…kamu Lulu ya?”

“Iya, hai Kiki, aku kembali lagi”. Lulu mendekat Kiki dan Lala

Kiki segera membangunkan Lala yang masih terlelap tidur, “La..lala, bangun cepat, Lulu datang ini”.

Lala membuka mata ketika mendengar nama Lulu disebut – sebut Kiki. Dia bergegas bangun menghampiri Kiki dan Lulu, dan saling berpelukan bahagia.

“Kami kangen kamu Lulu”, Kiki dan Lala bersamaan mengucapnya.

“Aku juga Lala, Kiki” Kembali mereka berpelukan erat melepas rasa kangen. Mereka benar – benar nampak bahagia.

Sebenarnya Lulu itu telur bebek, dan raksasa yang mengambilnya adalah Si Pemilik rumah yang menjadikan lulu telur asin. Setelah diolah dan dingin, Lulu dikembalikan ke dalam kulkas, bertemu lagi dengan Kiki dan Lala. Mereka nampak bahagia, berpelukan sambil tertawa – tawa, indahnya persahabatan dengan siapapun itu.

 

The End


Tuesday, March 14, 2023

FLOWER FROM AFRICA

 My flower stood in the meadow, her face upturned to the sun, and the gentle breezes caressing her shorten hair. Her eyes were bright like the morning dew, and her smile bloomed like a flower in spring.

My flower is a woman, and yet she was more than that. She was a force of nature, a tempest of passion, and a gentle breeze of love. Her beauty was not just skin deep; it radiated from within her, illuminating everything around her like a beacon of light.

As my flower walked, the grass rustled beneath her feet, and the petals of the wildflowers leaned towards her. It was as if they knew the magic she carried within her, and they longed to be closer to her, to bask in the warmth of her love.

With each step my flower took, she left behind a trail of fragrance, a scent that lingered long after she was gone. It was a scent of hope, of love, and of dreams. It was a scent that called out to all who were lost, all who were searching for a path, a purpose, or a home.

My flower is a woman, but she was also a flower. She was a rose, a lily, a daisy, and a sunflower. She was every blossom that ever bloomed, and yet she was unique. My flower is a woman, and she was beautiful compared to an Angel.