Pagi itu di bawah sisa hujan semalam, kususuri jalan yang panjang bersama mereka. Jalan yang seakan tiada ujung, terjal dan sangat berbahaya untuk dilalui. Lubang - lubang jalan beraspal yang tergerus banjir akses utama perjalanan ini. Liak liuk iring - iringan kuda besi seperti atraksi ketangkasan berkendara di arena balap. Bahkan rintiknya hujan tidak membuat kami takut menghadapinya. Basah tak terasa lagi, hanya tawa dan candaan mengiringi di perjalanan.
Jalan batas kota kecil terlewati sudah. Sang navigator mulai mengarahkan sepedanya ke jalan lain. Jalan yang ternyata lebih serasa crossroad dari sebelumnya. Jalan licin berbatuan, sebesar kepalan tangan orang dewasa bahkan lebih. Kadang terlihat jalan cor yang sudah berlobang sana sini. Naik tinggi, menikung tajam dan turun terjal membuat kami semua terdiam. Hanya sesekali beberapa dari kami memberi peringatan jalan hati - hati. Harus satu persatu sepeda melewatinya. Satu dengan yang lainpun harus saling membantu. Karena tidak semua dari kami dari daerah ini.
Rombongan mulai memasuki tanjakan yang tajam, sempit dan licin. Suara mesin saling beradu kemampuan menaikinya. Nyali pengendara teruji di sini. Adakah takut atau ragu - ragu? Ternyata hanya aku yang takut. Kupandangi mereka tak ada yang terlihat gentar, meski para siswi yang mengendarai.
Beberapa saat kemudian beberapa anggota rombongan sudah mulai di jalan atas. Tinggal kami pengendara tiga motor masih berusaha naik tanjakan tertinggi. Tiba - tiba motor di depanku tergelincir ban jalan dan terguling. Jantungku serasa lepas, motor di depanku terus merosot ke bawah hampir mendekati motor yang kukendarai. Untung Nanda sangat cekatan menurunkan motornya di luar ban jalan yang berbatasan dengan jurang. Sementara kulihat Ibra menghentikan motornya begitu saja sambil berlari membantu Aden. Ibra terus menarik Aden hingga berhenti merosot kebawah. Mereka terlihat lemas dengan nafas yang tersengal. Ibra memandangi Aden yang pucat pasi tanpa bisa berkata apa - apa. Kemudian aku, Nanda dan Dito menghampiri mereka berdua. Kami berlima duduk di pinggir jalan tanpa suara sedikitpun.
"Lho yok opo sih Den kok iso koyo ngunu?" Tiba - tiba Nanda memecah keheningan.
Dengan nada gemetar dan masih bingung Aden menjawab,"Masalah e sepedaku ndak bisa naik trus aku ndak kuat menahannya".
"Untung Ibra cepet melompat, kalau tidak kalian bertiga mendarat di bawahlah", Si Dito mencairkan ketegangan Aden yang masih kaku ketakutan.
"Ya sudahlah, yang penting kita semua baik - baik saja", sahutku biar Aden tidak merasa bersalah.
"Iya Bu", mereka menjawab bersamaan. "Sebaiknya kita lanjutkan lagi, pasti teman - teman sudah menunggu di atas", Nanda mengajak kita segera meninggalkan tempat tersebut.
"Oke Siap, ati - ati ya Den", serempak kami menyemangati Aden
Aden hanya tersenyum sambil ngomong lirih sendiri. Dasar Aden yang biasanya banyak bicara tiba - tiba menjadi pendiam.
"Sebaiknya saya dan Ibra paling belakang saja Nda, kamu di belakang Aden saja". Dita memberi saran pada kami.
"Ok lah To, ayo". Nanda menjawab dengan semangat tingginya
Kitapun mulai beranjak menuju atas, hujan makin deras, kita bermotor dengan sangat pelan. Takut kalau bannya makin tergelincir karena licin,
Dinginnya air hujan diiringi angin yang agak kencang serasa menembus basahnya pakaian. Kulihat mereka masih semangat. Sesekali mereka menggoda Aden, dan Adenpun mulai menimpali godaan teman - temannya. Nampak da sudah tidak tertekan lagi.
Sesampai di jalan atas, kita bertemu dengan yang lainnya. Mereka juga basah kuyub, namun tak terlihat sedikitpun lelah dan dingin. Mereka juga bercanda bersama. Senang rasanya bersama seperti ini, karena aku tak merasa lelah sedikitpun.
Selang beberapa waktu setelah berkumpul semua kita melanjutkan perjalanan. Masih ada dua kali tanjakan dan satu turunan. Tapi mereka memastikan tanjakan dan turunan itu tak setajam jalan tadi. Okelah, hatiku lega jadinya.
Setelah dua kali tanjakan, kita melewati jalan yang menurun. Jalan ini sangatlah sulit, karena batu - batunya besar, berlumpur dan licin. Iring - iringan motor kami yang lumayan panjang layaknya ular yang berkelok di sepanjang jalan. Apalagi hujan makin deras dan jalan hampir tertutup air semua. Sehingga tak tahu jalan mana yang berlobang atau yang bisa dilewati.
Setiap jalan sulit yang dilewati akan membuat mereka saling berkomentar dan saling ejek. Seakan mereka menunjukkan keahliannya menunggang kuda besi di jalan yang benar - benar penuh tantangan. Bagiku jalan itu sangatlah sulit dan menakutkan, tapi bagi mereka itu masih mudah, layaknya uji nyali yang tak perlu ditakuti. Maklum mereka masih remaja, apalagi mereka banyak yang berasal dari daerah sekitar sini. Mereka benar - benar sudah lihai melewati medan jalan sehari - hari.
Sekitar tiga puluh menit sudah kita melalui jalan - jalan tersebut. Punggung tua ini mulai terasa pegal dan badan terasa dingin. Namun aku tetap merasa bahagia karena bersama mereka. Di bawah derasnya hujan, kami semua bernyanyi - nyanyi dan tertawa juga. Sesekali dari mereka ada yang menebarkan joke yang tak sengaja.
Tiba - tiba motor paling depan berhenti tepat di jalan yang ladang sebelahnya baru panen. Sehingga terlihat seperti tanah lapang yang luas karena tergenang air hujan. Kami ikut berhenti, sambil penuh tanya. Mereka menepikan motor - motornya di tepi jalan dan berjalan berkumpul. Salah satu dari kami, Mail, memberikan ide cemerlang. Kami semua diajak turun ke lahan kosong, berdiri berpunggungan, bergandengan siku lengan dan melingkar. Layaknya lingkaran kecil yang kami buat di lahan kosong di bawah hujan deras. Di sini masing - masing dari kami saling merefleksikan diri semua kesalahan - kesalahan yang pernah kami buat selama bersama teman - teman sekelas seraya memejamkan mata. Kami saling berdoa yang didengarkan sesama, disebutkanlah satu - satu nama yang pernah kami sakiti. Tak terasa tangis tak dapat dibendung, semua menangis sambil menundukkan kepala ke bawah dan kadang ke atas. Seakan menjadi saat yang mengajak kita memuliakan nama Allah atas semua yang telah mereka berikan.
Sesaat tak ada suara sama sekali, hanya sesekali senggukan dari kami. "Baiklah teman - teman, saling berjabatlah tangan bila orang yang kita sakiti ada di sini", Si Mail memecahkan kesunyian. Kami berkumpul saling berpandangan dan berjabat tangan. Mata - mata merah sembab masih terlihat, meski terpancar senyum - senyum yang lega karena saling memaafkan. Demikian pula aku, yang meminta maaf pada semua, sengaja atau tidak, aku pastilah yang banyak salah. Jabatan tangan ini membawa damai di hati kami.
Kitapun melanjutkan perjalan yang kurang beberapa saat lagi. Hujanpun mulai berkurang, namun semakin dingin karena waktu siang beranjak sore. Kulihat mereka sudah mulai berbincang - bincang lagi. Suasana hangat makin terasa dalam perjalanan ini. "Satu kali tanjakan rendah itu belok kiri, kita sampai tujuan", Dito memberi informasi.
"Beres, oke". Bersamaan merespon Dito
Ternyata benar adanya, sampailah kita di tujuan. Kami segera memasuki halaman, dan memarkir motor. Sesekali masih ada candaan mereka.
Keluarga Amar menyambut kami dengan senang hati, meski saat itu mereka berkabung atas meninggalnya salah satu anggota keluarga. Kamipun dipersilakan masuk, meski kami basah kuyub. Nampak beberapa orang sibuk untuk menjamu kami, makan siang dan teh panas yang enak di saat dingin hujan seperti ini. Anak - anak saling bercerita pengalaman perjalanan tadi. Tawa dan candaan mereka menghangatkan suasana. keluarga yang berdukapun ikut berbagi pengalaman melewati jalan - jalan tersebut.
Terima kasih Tuhan, saat ini Engkau tunjukkan betapa Maha Hebatnya Engkau. Apapun yang Engkau berikan, kami masih selalu senang menjalani. Seperti saat ini, semangat kami menembus batas untuk kebersamaan. Terima kasih anak - anak untuk pelajaran yang kalian berikan padaku.
matahari 2023
No comments:
Post a Comment