Goresan Pertamaku
Belajar dari Jatuhnya Sang Daun
Pagi serasa panjang sekali. Detik demi detik menjadi penantian tiada ujung. Meski ragaku di sini, namun jiwaku bersamanya. Bersama dia, anak pertamaku. Dia yang sedang berjibaku, belajar mengalahkan keangkuhan jiwa mudanya.
Dua hari ini adalah hari yang aku tidak tahu lagi rasanya. Waktu terulang kembali seperti saat - saat sebelumnya. Saat di mana Si Ndukku (panggilan sayang anak perempuan Jawa Timur) berlaga, belajar berkarya mengisi masa muda. Anakku berkreasi di atas matras. Jatuh bangun, menghindar, bertahan dan menyerang, menunaikan tugas yang diembankan. Ingin rasanya aku selalu mendampingimu. Meski rasa khawatir dan kasihan di dalam dada. Rasa yang aku hadapi sebagai seorang ibu. Rasa yang tidak ingin melihatmu seperti itu. Kau yang selalu didekapku, kini tak selalu lagi bersamaku.
Namun ibu tak boleh egois padamu. Kau bertumbuh menjadi remaja, jiwa dan raga. Masa di saat kamu harus berprestasi, membentuk karakter dirimu sendiri. Kau belajar membuat pondasi yang kokoh untuk masa depan. Ini yang ibu harus hormati. Karena ibu sadar, tak bisa memberimu masa depan. Ibu hanya berjalan di sekelilingmu. Ibu hanya bisa menjadi sosok yang ber "Tutwuri Handayani" memberi dorongan mencapai cita - cita baikmu, dan "Ing Madya Mbangun Karsa" memberi dukungan padamu saat kau jatuh bangun.
Tengah hari sudah, matahari mulai tinggi dan terik mulai terasa panas. Tiba - tiba suara pesan masuk di ponsel. Kubuka pesan dengan hati - hati, penuh do'a. Senyum mengembang dimulutku. Do'a terima kasih tak lupa kuucapkan. Kau melewati babak pertama sesuai yang kau dapatkan. Tak henti - hentinya ibu berdo'a, semoga direndahkan hatimu saat seperti ini, dan dilapangkan dadamu saat kau di tempat yang sebaliknya. Dalam tawa dan tangis ini hanya do'a terbaik untukmu.
Malam mulai tiba, kau datang dengan ekspresi muka yang masih sama. Kusambut kau dengan senyum dan pelukan hangat. Tak berani kutanyakan apa - apa, karena kaupun tahu hati ibu. Hanya cerita sesaat yang kau ucapkan, karena itu sifatmu. Setelah melepas lelah dan mandi, kemudian kau beranjak istirahat. Kita hanya sempat bercerita sejenak, kau harus tidur segera. Besok pagi - pagi kau harus berangkat lagi.
Sabtu pagi kita berangkat bersama di tempat pertandingan. Hari kedua untuk penentuan selanjutnya. Sungguh rasa hati ini tidak seperti nampak muka. Meski aku tersenyum dan kau juga, namun hati ibu tak pernah berhenti berdo'a, semoga kau dikuatkan. Sekali lagi aku tidak boleh egois, untuk memintamu berhenti. Aku harus belajar terbiasa untukku sendiri. Aku harus yakin dengan apa yang kau putuskan. Kalau kau bisa tersenyum dan tenang, harusnya ibupun begitu, lebih tenang darimu. Ya, hati ibu tetaplah hati seorang ibu. Hati yang tak pernah bisa dibohongi.
Tiba - tiba namamu terdengar di sana. Kau mendekat minta ijin melaksanakan babak ini. Kau berbisik perlahan di depan ibu. Bisikan yang tak pernah kulupakan selamanya. "Ibuk, belajarlah dari daun yang jatuh, daun yang jatuh karena kehendak-Nya tidak akan bisa dirubah oleh siapapun" "Seperti halnya aku, menang atau kalah aku sudah dituliskan disana". Aku hanya terpaku, dan kaupun bersiap bertanding.
Perlahan aku keluar, berjalan menjauh dari tempat itu. Sekali lagi do'aku tak pernah putus. Sambil kusebut nama-Nya, kuucapkan terima kasih karena kau memberi kekuatan padaku.
Gong pertama berbunyi, pertanda pertandingan dimulai. Suara gemuruh penonton bersorai. Aku tak mau mendengar apa yang mereka teriakkan. Gong kedua dan kemudian ketiga, suara mereka makin keras membuat kaki ini lemas tak berdaya. Hampir lima menit sudah, aku kembali untuk menemuimu. Mendadak kau menghambur kearahku, kau teteskan air mata. Kutanya, "kenapa menangis?" lalu kau hanya menjawab, "Do'akan aku Buk, selalu menjadi orang yang rendah hati". Kemudian namamu disebut, kau berada di posisi yang menang lagi. Kau kembali tersenyum dan meninggalkanku ke tempat mereka.
Sambil menunggu semua acara selesai, aku duduk bersama orang tua lain yang menunggu anak - anak mereka. Mereka berbagi cerita dan pengalaman. Aku hanya terdiam, namun hatiku sudah mulai tenang. Kurenungkan setiap kata yang diucapkan, kalau aku harus belajar dari daun yang jatuh. Sungguh kalimat yang tak pernah kubayangkan keluar dari perkataannya. Kalimat yang seharusnya kuucapkan, bukan kau ucapkan.
Oalah Nduk, sekarang ibu tahu mengapa foto daun jatuh, jepretan ayah, selalu kau tempatkan di kamarmu. Ternyata dari situlah kamu belajar banyak hal. Tentang hidup dan kesabaran. Dan itu benar adanya, apa yang telah digariskan oleh-Nya tak bisa dirubah begitu saja.
Tepat jam 11 malam, semua kegiatan selesai. Kami bersiap untuk pulang. Ada tawa, canda, dan bincang - bincang anakku dan teman - temannya. Kudengarkan sesaat apa yang mereka bincangkan. Mereka tidaklah tertawa terbahak atau sangat gembira. Mereka hanya berbincang sekedar melepas penat.
Mobil mulai merangkak turun kembali ke rumah. Suasana mulai sepi, nampaknya mereka mulai tertidur. Rasa penat dan kantuk tak terbendung lagi. Namun aku harus tetap terjaga, menemani bapaknya anak - anak menyopir di malam hari. Kami berbincang kesana kemari untuk mengusir kantuk. Sambil sesaat kadang kutoleh ke belakang, betapa mereka terlihat pulas dan tenang. Seakan mereka tidak punya beban apapun, karena mereka selalu bilang semua untuk mencari pengalaman.
Dua jam kemudian sampailah kita di rumah. Kami beristirahat, membersihkan badan dan makan. Sambil bercerita kami saling berbagi pengalaman. Hingga tak terasa malam mulai beranjak pagi. Kami berangkat ke peraduan untuk menghabiskan sisa pagi dengan tidur. Saling mengucapkan have a nice dream, mereka masuk ke kamar masing - masing. Demikian pula aku, kurebahkan badanku, kuputar lagu pengantar tidur dengan pelan. Kuingat kembali kalimat itu, kurenungkan betapa sederhananya daun jatuh kalau sudah dikendaki. Sama halnya hidup ini, sederhananya bahagia kalau kita menikmati hidup yang sudah kita punya.
Terima kasih ya Nduk, pendewasaanmu pelajaran bagi ibu.
Linggar Lestari
No comments:
Post a Comment